Bilingualisme dan Diglosia
Kajiaan
Teoritis
Istilah bilingualisme dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasaan (Chaer, 2004:84). Dari istilah yang
dikemukakan oleh Chaer di atas, dapat dipahami bahwa bilingualisme atau
kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam
aktivitasnya sehari-hari.
Ada beberapa ahli yang menerangkan
tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah
Weinrich (Aslinda dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The
practice of alternately using two language’, yaitu kebiasaan menggunakan
dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau
lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan
menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa
kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa
pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas
penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.
Hal di atas tidak sejalan dengan
pengertian bilingualisme menurut Bloomfield (Aslinda dkk., 2007:23) yang
mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like control of two languages.
Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem
kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih
banyak dipertanyakan karena syarat dari native like control of two languages
berarti setiap bahasa dapat digunakakn dalam setiap keadaan dengan
kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan
penuturnya.
Selain kedua pengertian menurut dua
ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer, 2004:86) yang menyebutkan adanya
bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism).
Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini ‘…yaitu bilingualisme yang
dialami oleh orang-orang, terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari
bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana
dan dalam tingkat rendah’.
Jika melihat pernyataan Diebold,
benar kiranya apabila kedwibahasaan yang banyak digunakan oleh orang-orang
adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada tingkat awal. Dalam kegiatan
sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari hampir selalu melaksanakan
bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun, kebanyakan orang pada masa sekarang
cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang digunakannya dengan tepat.
Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip
pendapat Lado bahwasanya bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa
oleh seseorang sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu
pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Pendapat Lado
tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold tentang incipient
bilingualisme, karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana Bloomfiled bahwa
penguasaan seseorang yang menganut bilingualisme terhadap bahasa keduanya harus
sama dengan bahasa pertama yang digunakan.
Terlepas dari ada atau tidaknya
pengetahuan seseorang mengenai sistem kedua bahasa yang digunakan, setidaknya
penutur telah mengenal bahasa atau istilah-istilah bahasa yang digunakannya.
Hal itu senada dengan Chaer (2004:84) yang mengemukakan,
Untuk dapat menguasai dua bahasa
tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya
sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa
lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Selanjutnya, Mackey dan Fishman
(Chaer, 2004:87), menyatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik
penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain,
oleh seorang penutur. Menurut Mackey dan Fishman, dalam membicarakan
kedwibahasan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi,
pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi.
Pengertian bilingualisme menurut Mackey dan Fishman inilah yang dirasa sangat
relevan bagi penulis.
Permasalahan mengenai kedwibahasaan
kiranya terasa erat sekali dengan perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia.
Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu
bahasa ibu mereka (bahasa daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Penggunaan bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama,
sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa
kedua. Penggunaan bahasa yang seperti itu disebut sebagai diglosia (Aslinda
dkk., 2007:26).
Pengertian diglosia boleh dikatakan
sama dengan bilingualisme, tetapi diglosia lebih cenderung dipakai untuk
menunjukkan keadaan masyarakat tutur, yakni terjadinya alokasi fungsi dari dua
bahasa atau ragam. Berkenaan dengan hal di atas, Ferguson (Alwasilah, 1990:136)
memberikan batasan diglosia seperti di bawah ini.
Diglosia adalah suatu situasi bahasa
yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama suatu bahasa (yang
mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam
bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan (sering kali secara
gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi, sebagai wahana dalam keseluruhan
kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu
maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan
formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi,
tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan
biasa.
Dari
penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia adalah
persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu
bahasa terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing ragamnya mempunyai
peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung
kepada situasi.
1. Bilingualisme atau Kedwibahasaan
Konsep umum bahwa bilingualisme
adalah digunakannnya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang
biasa dibahas apabila membicarakan bilingualisme.
Jika melihat batasan bilingualisme
yang dipaparkan oleh Bloomfield (Aslinda, 2007:23), seseorang dapat disebut
sebagai bilingual apabila mampu menggunakan B1 (bahasa pertama atau bahasa ibu)
dan B2 (bahasa kedua) dengan sama baiknya. Namun, permasalahannya bagaimana
cara mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap penguasaan
kedua bahasa yang digunakannya? Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah
mungkinkah seseorang dapat menggunakan B2-nya dengan kualitas yang sama baik
dengan B1-nya. Apabila ditemui penutur yang mampu menguasai B2-nya sama baik
dengan B1-nya, maka penutur tersebut tentunya mempunyai kesempatan yang sama
untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa tersebut.
Pada pembahasan ini, selanjutnya
kita akan membahas pendapat yang dikemukakan oleh Mackey yang menyebutkan bahwa
dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah
tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuan atau campur kode,
interferensi, dan integrasi.
Pertama, masalah tingkat kaitannya
adalah dengan sejauh mana sesorang mampu menjadi seorang dwibahasawan atau
sejauh mana seseorang mampu mengetahui bahasa yang dipakainya. Masalah tingkat
dalam pembahasan bilinguaisme menurut Alwasilah (1990:125) berkaitan dengan
tingkat kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan
nampak dari empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara,
dan menulis. Menurutnya, dalam keempat keterampilan tersebut akan mencakup
fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan stailistik. Jika diambil kesimpulan,
masalah tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan
pengetahuan seseorang terhadap bahasa yang dipakainya.
Kedua, fungsi kaitannya dengan
pengertian untuk apa seseorang menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam
kehidupan pelakunya. Hal ini berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual
menggunakan kedua bahasanya secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut
masalah pokok sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa,
kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa (Chaer, 2004:88). Penggunaan
bahasa pertama oleh seorang penutur, misalnya bahasa pertamanya bahasa Sunda,
hanya akan digunakan dengan semua anggota masyarakat tutur yang menggunakan
bahasa Sunda pula. Penggunaan bahasa pertama tersebut juga akan terbatas hanya
pada situasi-situasi tertentu, misalnya ketika dalam percakapan sehari-hari
dalam ruang lingkup keluarga dan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat
biasa. Namun, dalam situasi-situasi tertentu pula bahasa pertama tidak dapat
digunakan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan di sekolah, walaupun guru dan
murid menggunakan B1 yang sama (misalnya Bahasa Jawa), akan tetapi dalam hal
ini hanya bahasa Indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa Indonesia yang
menjadi bahasa kedua guru dan murid tersebut merupakan bahasa nasional yang
berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Ketiga, pertukaran atau alih kode
adalah sampai seberapa luaskah seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu
dan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain.
Keempat, campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih
bahasa atau ragam bahasa dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut
percampuran bahasa. Pertukaran atau alih kode biasanya selalu berkaitan dengan
percampuran atau campur kode. Campur kode biasanya terjadi dalam
situasi-situasi yang santai atau nonformal. Dalam situasi berbahasa yang formal
jarang terjadi campur kode, kalaupun terjadi campur kode itu hanya sebagai
akibat tidak adanya padanan yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakan.
Kelima, interferensi adalah
bagaimana seseorang yang menganut bilingualisme menjaga bahasa-bahasa itu
sehingga terpisah dan seberapa jauh seeorang itu mampu mencampuradukkan serta
bagaimana pengaruh bahasa yang satu dalam penggunaan bahasa lainnya.
Interferensi berarti adanya saling mempengaruhi antarbahasa. Interferensi
bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya –
baik dalam ucapan maupun tulisan – terutama kalau seseorang sedang mempelajari
bahasa kedua (Alwasilah, 1990:131). Ciri yang menonjol dalam interferensi
adalah peminjaman kosakata dari bahasa lain, alasannya adalah perlunya kosakata
untuk mengacu pada obyek, konsep, atau tempat baru. Maka, meminjam kosakata
dari bahasa lain akan lebih mudah daripada menciptakan kosakata baru. Hanya
saja, kosakata-kosakata hasil pinjaman yang biasa dipakai dalam bahasa
Indonesia telah disesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia.
Keenam, integrasi terjadi apabila
unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem
bahasa penyerapnya shingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi
terasa asing. Pengintegrasian unsur serapan ke dalam suatu bahasa tidak sama
pada setiap wilayah. Adakalanya integrasi hanya terjadi pada suatu dialek,
bahkan adakalanya integrasi itu terjadi pada sebuah desa asalkan unsur tersebut
menunjukkan ciri-ciri integrasi. Istilah integrasi ini sama halnya dengan
istilah konvergensi menurut Alwasilah (1990:134). Ia mengutip pengertian konvergensi
dari Webster’s New Collegiate Dictionary sebagai ‘kegiatan bertemu
dan terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman’. Konvergensi ini
sebagai tindak lanjut dari interferensi. Apabila kosakata hasil pinjaman
tersebut sudah disetujui, ini berarti kata-kata itu telah dikonversi ke dalam
bahasa baru, yaitu telah bertemu dan masuk ke dalam bahasa baru.
2. Diglosia
Jika dalam bahasa Indonesia hanya
terdapat satu ragam baku, maka dalam bahasa tertentu ditemukan situasi yang
berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku yang sama-sama diakui dan
dihormati. Hal tersebut biasa disebut sebagai diglosia. Diglosia adalah sejenis
pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa berada berdampingan di
dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi
fungsi sosial tertentu. Pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam
bahasa rendah (ditandai dengan R) dan ragam bahasa tinggi (ditandai dengan T)
dalam suatu kelompok masyarakat.
Ciri-ciri situasi diglosia yang
paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam
bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan
keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam
surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam
situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara
teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat.
Dalam situasi diglosia akan kita
jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia,
seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama.
Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat
aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa
tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk
sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes
(ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama
(tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran
baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
Ragam-ragam tersebut menduduki
fungsi sosial, walaupun sekarang fungsi sosial tersebut sulit dicari. Dahulu,
ragam bahasa seperti dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa benar-benar digunakan
sesuai dengan tingkatan sosial masyarakatnya juga sesuai situasi. Dalam bahasa
Jawa misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra (termasuk tembang),
sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko. Begitu
juga dalam bahasa Sunda, ketika seorang anak berbicara dengan seorang guru
tidak bisa menggunakan bahasa loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes.
Namun, sekarang hal tersebut sulit sekali untuk dicari.
Pemakaian suatu ragam dalam
bahasa-bahasa daerah itu bukan didasarkakn atas topik pembicaraan, melainkan
oleh siapa (golongan atau kelas) dan untuk siapa. Dalam masayarakat Bali,
terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan pemakaian ragam
bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah untuk sesamanya
dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi.
Namun, menurut Fishman dalam
Sumarsono (2007:39), pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas
merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Jika menurut Ferguson, diglosia itu
mengacu kepada kondisi ‘dua ragam dalam satu bahasa hidup berdampingan dalam
guyup bahasa, dan masing-masing ragam itu mempunyai peran atau fungsi tertentu’,
maka Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih
luas. Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada
pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai
tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada
perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan
gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda.
Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu
mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.
Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di
sebuah kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa
daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi
bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan msing-masing mempunyai ranah
yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban,
kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan
kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi,
kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa
pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan
(khotbah).
SUMBER
Alwasilah,
A. Chaedar. 1990. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Kedwibahasaan,
Dwibahasawan, dan Diglosia. Bandung: Refika Aditama
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta
Sumarsono.
2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda
https://sungaibatinku.wordpress.com/2009/03/20/kedwibahasaan-dan-diglosia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar